Perjalanan hidup rektor baru IIK BW yakni Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt., berawal dari sebuah mimpi anak seorang petani di desa terpencil yang memiliki motivasi untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Beliau dilahirkan di Desa Simbatan (Kabupaten Magetan) 71 tahun silam, putra pertama dari pasangan Mochamad Salikun dan Suginem. Pada tahun 1964, beliau menjadi mahasiswa angkatan kedua Fakultas Farmasi Unair yang saat itu jumlah mahasiswanya tidak lebih dari 50 orang. Saat itu istilah farmasi masih terdengar asing bagi kedua orang tua beliau. Akhirnya dengan sedikit penjelasan, beliau berhasil menceritakan kepada orang tuanya meski ibu beliau menganggap bahwa farmasi adalah dokter obat atau dokter yang mengurusi masalah obat-obatan. Beruntung orang tua beliau adalah orang tua yang memiliki pandangan maju dan terbuka, terutama dalam hal pendidikan. Orang tua beliau berharap kelak anak pertamanya ini dapat menjadi teladan yang baik untuk adik-adiknya, dan tidak menjadi orang “ndeso” yang justru hanya bekerja di sawah. Selain itu, lompatan generasi menjadi mimpi besar kedua orang tua beliau, agar kelak anak-anaknya dapat menjadi orang besar dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1972 beliau berhasil meraih gelar sarjana farmasi, dan lulus profesi apoteker tahun 1974. Pada tahun 1974 pula, beliau mulai mengajar pertama kalinya menjadi seorang dosen di bagian Kimia Analitik Fakultas Farmasi Unair. Prestasi beliau semakin meningkat di tahun 1982 dengan meraih predikat doktor dari MIPA ITB dan pada tahun 2000 beliau resmi dikukuhkan menjadi profesor. Berkat prestasinya itu, di tahun 2006 hingga tahun 2010, beliau diberi amanah untuk menjadi wakil rektor 1 bidang pendidikan di Unair. Perjalanan karir beliau sebelum sukses menjadi rektor IIK Bhakti Wiyata juga penuh dengan lika-liku. Tak jarang ia menemui kendala untuk mencapai mimpinya, bahkan beberapa orang juga “memandang sebelah” kemampuannya. Tetapi hal itu justru menjadi suntikan semangat beliau untuk terus maju sesuai dengan prinsip hidupnya yaitu ‘Narimo ing Pandum’ . Ungkapan tersebut berasal dari bahasa Jawa yang artinya ‘menerima dengan pemberian’. Arti mendalamnya ialah bersikap ikhlas atas apa yang diterima dan siap menghadapi suka duka kehidupan. Prinsip itulah yang juga mengantarkan beliau menerima penghargaan sebagai Anggota Kehormatan Himpunan Psikologi Indonesia. Setelah menjadi dosen muda di Fakultas Farmasi, beliau kembali mendapat kepercayaan untuk menjadi dosen Pasca Sarjana Unair menggantikan posisi dosen senior sebelumnya untuk mengajar mata kuliah di luar bidang ilmu farmasi yaitu Metodologi Penelitian (MP) dan statistik. Dari situlah karir sebagai pengajar dan juga pendidik beliau dimulai. Mahasiswa yang beliau ajar tak hanya dari S2 melainkan juga mahasiswa dari S3. Dari berbagai pengalaman mengajar tersebut dan berbagai penelitian, beliau berhasil mengeluarkan buku ajar. Buku ajar ini sudah dijadikan pedoman oleh anak didik beliau yang juga melanjutkan karirnya menjadi dosen di seluruh Indonesia. Beliau juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi di Unair pada bulan Desember tahun 2000 yang dilantik langsung oleh Prof. Soedarto yang pada saat itu menjabat sebagai Rektor Unair. Pada saat beliau terpilih menjadi Dekan Fakultas Psikologi, tengah terjadi prahara yang mengakibatkan beberapa dosen melakukan pengunduran diri (eksodus). Keadaan ini tidak meyurutkan langkah beliau untuk membawa Fakultas Psikologi yang beliau pimpin kembali maju dan Berjaya. Beliau menganggap justru amanah ini menjadi tantangan tersendiri yang harus ditaklukan. Salah satu cara beliau saat itu membangun Fakultas Psikologi dengan menggunakan moto “small but bautiful” yang berarti langkah sederhana tetapi menghasilkan hasil yang indah. Langkah sederhana itu diwujudkan dengan cara mengajak para dosen psikologi untuk melupakan konflik masa lalu dan melihat masa depan. Seperti yang selalu beliau tekankan “let bygones, be bygones”. “Meratapi masa lalu tidak akan membuahkan hasil apapun untuk masa depan,” ujar beliau dengan penuh keyakinan. Sebelum menjadi bagian dari IIK BW, beliau sudah diminta oleh Bapak dr. David R Soehartono B.Com.,M.B.A. selaku perwakilan dari Yayasan Bhakti Wiyata untuk menjadi staf ahli dan belajar agar lebih mengenal IIK BW. Hal ini diupayakan agar saat dilantik menjadi rektor beliau sudah paham dan mengenal dengan baik lingkungan di IIK BW. Rasa syukur dan bangga terselip di hati beliau saat diberi amanat untuk memimpin dan mengabdi di IIK BW.Tentunya ayah dari dua anak dan kakek dari 3 cucu ini mendapatkan dukungan penuh dan restu dari keluarga tercinta. Hal tersebut dijadikan salah satu pegangan beliau untuk menerima amanah sebagai seorang pemimpin. Bagi beliau keberhasilan pekerjaan tidak bisa dipisahkan dari keluarga. Dukungan keluarga adalah nomor satu untuk kemajuan karir. “Sehebat apapun jabatan kita, sesukses apapun karir yang berhasil kita raih akan sia-sia jika tidak diimbangi secara maksimal waktu untuk keluarga. Keluarga adalah orang-orang yang memiliki peran penting saat kita sedang mengalami kegagalan,” tutur beliau saat ditemui di Ruang Rektorat IIK BW. Langkah awal beliau saat menjadi menjadi rektor IIK BW adalah memperbarui statuta perguruan tinggi supaya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Menyusun rencana dan strategi untuk 4 tahun ke depan bernama “Sapta Karya, Catur Karsa” yang terdiri dari : - Pengembangan tata kelola institusi.
- Pengembangan Sumber Daya Manusia
- Pengembangan Pendidikan
- Pengembangan Sistem Informasi Terpadu
- Peningkatan Citra Keunggulan
- Pengabdian Masyarakat
- Budaya PLUS yang sesuai renstra dan statuta unggul dalam berkarya
Beliau berharap IIK Bhakti Wiyata dapat maju dan berkembang menjadi institut kesehatan yang unggul dan mampu bersaing dengan perguruan tinggi lainnya yang ada di Indonesia. Selain itu, harapannya IIK BW juga dapat menciptakan insan unggulan, profesional, dan bermoral, sehingga saat terjun di masyarakat dapat memberikan kontribusi positif dalam membantu sesama terutama di dalam bidang kesehatan. Sebagai seorang pendidik, beliau turut berpesan kepada pendidik lainnya agar menjadi pendidik yang ‘Ngugemi’ atau konsisten dengan ilmunya, terus fokus dan jangan setengah-tengah dengan ilmu yang digeluti, agar kelak mampu menjadi ‘Banyu bening akeh sing ngangsu’ artinya mampu menjadi sumber ilmu dan bermanfaat untuk sesama. “Teruslah belajar dan membaca, membaca dalam hal ini adalah tidak hanya membaca buku tapi juga membaca situasi, gejala, dan fenomena. Tingkatkan sifat mandiri dalam belajar, sifat yang selalu ingin menggali ilmu baik secara sendiri maupun melalui bimbingan pengajar,” tutur beliau sambil mengakhiri pembicaraan.
|